Planetarium kuno oleh David Hahn (Orrery, jam astronomis, bola langit), dibuat untuk Herzog Ernst II dari Gotha, tahun 1780. Gambar: Schlossmuseum Gotha
Dalam proses memahami itulah, sejak sekitar dua abad SM dicoba dibuat alat-alat yang menirukan gerak benda-benda itu, yang juga berfungsi sekaligus untuk menguji ketepatan teori yang ada saat itu. Kemudian sekitar abad 17 telah dikenal alat peraga yang disebut planetarium, stellarium, tellurium, dan lunarium. Pada akhir abad 17 telah dibuat dinding bola yang permukaan dalamnya digambari bintang-bintang atau diberi lubang kecil-kecil untuk dilalui cahaya matahari sebagai penggambaran letak bintang-bintang (S.Darsa, 1992).
Planetarium kuno pertama adalah alat peraga atau model miniatur Tata Surya dengan menggunakan mesin mekanik, hasil karya tinggi dari tangan pembuat arloji. Alat peraga tersebut memang dibuat untuk mengenal waktu, dengan membuat peraga benda-benda langit yang bergerak yang dapat dijadikan acuan waktu astronomis. Dari sinilah cikal bakal planetarium.
Instrumen Planetarium pertama buatan Zeiss di Museum Deutsches, Munich, 1923 Copyright 1973, International Planetarium Society
Gagasan untuk membuat alat peraga dengan sistem proyeksi cahaya untuk menghasilkan gambaran langit mendekati sebenarnya ini giat dikemukakan oleh Max Wolf, astronom Jerman. Pada masa itu, kemajuan ilmu pengetahuan dalam bidang optik, instrumentasi, dan listrik memungkinkan untuk merealisasikan gagasan ini. Perusahaan Carl Zeiss, yang berdiri sejak 1846 dan terkenal akan reputasinya dalam pembuatan instrumentasi optik yang berkualitas, merupakan perusahaan yang dipercaya untuk membuat alat proyeksi cahaya tersebut.
Pada bulan Agustus 1923, proyektor pertama (Model I) ini dipasang di Jena untuk diuji coba, di bawah kubah berdiameter 16 meter. Kemudian pada bulan Mei 1925 proyektor tersebut dipasang secara permanen di Museum Jerman – Munich. Masyarakat yang menyaksikan pertunjukan perdananya dibuat sangat terpukau. Planetarium pertama ini sempat hancur dalam perang dunia II, tetapi pada tahun 1950-an dibangun kembali.
Sejak hadirnya proyektor yang pertama tersebut, proyektor-proyektor baru dengan berbagai pemutakhiran untuk menghadirkan langit dan isinya pada ruangan berkubah terus bermunculan. Dengan segala kecanggihannya, kini planetarium tak lagi hanya sebuah alat untuk memahami pergerakan benda-benda langit, tetapi juga untuk menjelaskan astronomi secara umum dan luas. Dilengkapi berbagai sarana dan kegiatan yang mendukung, planetarium modern kini telah menjadi tempat wisata yang ilmiah, berrekreasi sambil berilmu.
Demikianlah planetarium lahir dari tangan manusia untuk membantu manusia memahami alam semesta dan memahami posisinya di jagat raya mahaluas ini. Planetarium Jakarta yang merupakan satu dari sekian ribu planetarium di seluruh dunia pun berdiri sebagai alat manusia Indonesia yang ingin membuka matanya dalam memandang alam semesta ini.